UJANG SUDRAJAT / SI V
Sesuai dengan bunyi KMB, dilakukanlah usaha-usaha untuk mencari pemecahan persoalan status Irian Barat melalui perundingan langsung antara Indonesia dan Belanda. Perundingan tersebut dilakukan dalam hubungan Uni Indonesia - Belanda, yang kedua anggotanya sama derajat kedudukannya sebagai negara merdeka, dengan mengadakan rapat Uni dua kali setiap minggu, Dalam suatu konperensi antara Menteri-Menteri Uni kedua Negara yang diadakan pada tanggal 25 Maret 1950 sampai 1 April 1950 di Jakarta, mulailah diambil langkah-langkah pertama untuk mencoba memecahkan masalah Irian Barat. Sebagai salahsatu di antara rangkaian acara yang membicarakan mengenai Irian Barat, konperensi tersebut memutuskan untuk membentuk Komisi Gabungan dengan tugas peninjauan ke Irian Barat.
Masing-masing bagian komisi membuat laporan sendiri secara terpisah. Pihak Indonesia mengajukan, bahwa Indonesialah yang paling beralasan kuat mengenai haknya atas Irian Barat. Tuntutan ini terutama lebih ditujukan untuk kepentingan penduduk Irian Barat sendiri. Sedangkan kekuasaan Belanda atas wilayah tersebut merupakan kekuasaan kolonial, yang dilaksanakan semata-mata untuk kepentingan Belanda sendiri dan tidak untuk kepentingan rakyat Irian Barat. Selain itu keadaan alamiah Irian Barat sebagai bagian Indonesia dapat dikuatkan dengan alasan-alasan sejarah, ekonomi, politik ataupun strategis yang menjelaskan bahwa penyempurnaan kedaulatan wilayah Indonesia berarti menguatkan negara demokrasi Indonesia yang dibutuhkan oleh dunia internasional.
Sebaliknya pihak Belanda mengajukan pendapat, bahwa penyerahan pemerintahan Irian Barat kepada Indonesia dianggap bertentangan dengan kepentingan penduduk aslinya. Alasannya ialah apabila penyerahan dilakukan demikian saja, maka hak untuk menentukan nasib sendiri penduduk asli telah diabaikan. Sekiranya mereka akan memilih Indonesia hal ini jelaslah sangat disangsikan, maka penyerahan demikian hanya didasarkan pada pernyataan dari seperempat dari jumlah penduduk yang berada di kota-kota saja, yang telah termasuk dalam jangkauan pemerintahan [1]
Dengan demikian tidaklah dapat diwakili suara seluruh penduduk Irian Barat. Maka bangsa Papua tanpa diberi kesempatan untuk mempergunakan hak menentukan nasib sendiri, untuk selama-lamanya akan dirampas dari kemungkinan untuk mempergunakan hak tersebut dengan cara yang tak bertanggungjawab.
Dengan kata lain pemerintah Belanda menganggap bahwa hadirnya kekuasaan Belanda di wilayah itu adalah mutlak diperlukan, sedangkan hak menentukan nasib sendiri bagi penduduk asli akan dilangsungkan setelah seluruh penduduk Irian Barat dimungkinkan untuk ikut serta mempergunakan haknya berhubung tingkat budayanya masih terbelakang sekali. Belanda malahan menganggap juga bahwa Indonesia sendiri sebagai negara yang masih termasuk terbelakang tidak mempunyai cukup biaya dan tenaga untuk memajukan Irian Barat. Pendirian Pemerintah Belanda yang mutlak juga tercermin dalam keterangan Menteri Urusan Uni dan Seberang Lautan Belanda, Mr. van Maarseveen diMajelis Tinggi Belanda, bahwa sehabis satu tahun perundingan, Irian Barat harus tetap di bawah kerajaan Belanda, demi kepentingan penduduk Irian Barat sendiri.
Sementara itu terjadi perubahan-perubahan ketatanegaraan Indonesia dari bentuk federal kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang di resmikan pada tanggal 17 Agustus 1950. Menjelang masa tenggang satu tahun hampir habis, tanpa adanya perkembangan dalam pembicaraan status Irian Barat, maka Pemerintah Indonesia mengusahakan adanya perundingan, yang sebetulnya menurut rencana sudah harus dilakukan pada pertengahan Oktober 1950. Perundingan khusus mengenai Irian Barat ini dimulai pada tanggal 4 Desember 1950 di Den Haag. Tetapi karena pendirian kedua belah pihak terlalu jauh, maka perundingan selalu dibayangi jalan buntu.
Pada akhir perundingan di keluarkan pernyataan: bahwa Indonesia tetap menuntut atas Irian Barat sebagai bagian wilayah Indonesia dan bahwa status Irian Barat seperti disebutkan dalam Perjanjian KMB, mulai saat itu dilangsungkan tanpa persetujuan Indonesia. Kemungkinan-kemungkinan penyelesaian dengan perundingan langsung masih juga diusahakan lagi, dengan pembicaraan-pembicaraan tidak resmi tentang perubahan-perubahan hubungan Uni Indonesia - Belanda untuk diganti menjadi hubungan biasa antara dua negara berdaulat mulai bulan Agustus 1951. Kemudian dilanjutkan dengan pembicaraan resmi bulan Desember 1951 tentang pembatalan Uni, perjanjian KMB dan Irian Barat [2]
Sementara itu ada saran yang mengusulkan tentang adanya pemerintahan bersama di Irian Barat, pihak Indonesia hanya memikul tugas-tugas administrasi, sedangkan pihak Belanda mengurus soal-soal pertahanan-keamanan dan eksploatasi sumber-sumber kekayaan. Usul inipun rupanya tidak mendapat sambutan dari kedua belah pihak. Pihak Belanda kemudian mengusulkan agar sengketa Irian Barat ini diajukan saja kepada Mahkamah Internasional di Den Haag urttuk mendapatkan keputusannya. Hal ini ditolak oleh Indonesia yang berpendirian, bahwa persoalan Irian Barat bukan semata-mata soal hukum (yuridis), melainkan persoalan politik. Maka tidak ada wewenang sama sekali bagi Mahkamah Internasional untuk ikut mencampuri persoalannya. Sementara status wilayah Irian Barat masih dalam persengketaan, Pemerintah Belanda telah mengambil suatu tindakan yang tidak simpatik.
Pemerintah Indonesia sekali lagi masih mengusahakan adanya suatu kemungkinan perundingan untuk memecahkan sengketa Irian Barat. Hal ini dilakukan melalui saluran Kedutaan Besar RI di Kerajaan Belanda pada bulan September 1952. Usaha ini lebih bersifat menjajagi perkembangan sikap Pemerintah Belanda. Karena ternyata perbedaan pandangan antara keduanya tetap masih jauh, usaha untuk mendapatkan penyelesaian sengketa dengan secara langsung kali ini pun tidak membawa hasil, Atas sikap-sikap yang keras kepala yang diperlihatkan Belanda tersebut tampak kurangnya diambil tindakan yang tegas dari pihak Indonesia, dan telah menimbulkan berbagai reaksi spontan dikalangan Rakyat Indonesia. Tuntutan-tuntutan diajukan kepada Pemerintah Indonesia untuk segera melakukan pemboikotan ekonomi dan perdagangan dari perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia Bahkan ada perasaan kesal terhadap sikap pemerintah yang nampak masih terlalu lemah menghadapi persoalan Irian Barat ini. Kelemahan Pemerintah Indonesia pada waktu itu disebabkan pertimbangan karena sedang mengadakan konsolodasi Angkatan Perang dan keamanan dalam negeri.
Setelah selama tiga tahun perundingan langsung dengan Belanda mengenai sengketa Irian Barat ternyata gagal, maka dicoba dengan jalan lain. Untuk memenuhi aspirasi nasional ini masih tetap dipakai cara berunding, tetapi diusahakan lewat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Diharapkan melalui forum ini Pemerintah Belanda akan dapat diinsafkan atas sikapnya yang tidak wajar selama ini, untuk mentaati perjanjian dengan mengadakan perundingan lagi dengan Indonesia.
Pada masa Sidang Umum ke-X Majelis Umum PBB tahun 1955, Indonesia memperjuangkan lagi persoalan Irian Barat untuk masuk sebagai acara, yang diajukan oleh 15 negara Asia-Afrika. Perkembangan politik dalam negeri Indonesia sendiri rupanya menghasilkan perjuangan dalam bentuk yang agak berbeda, sehingga ada pendekatan-pendekatan lagi antara Indonesia dan Belanda untuk berhadapan langsung di meja perundingan- Perundingan dilakukan di Jenewa, di mana masalah Irian Barat dikaitkan dengan acara persoalan finansiil ekonomi dalam rangka peninjauan kembali terhadap hubungan Indonesia-Belanda. Karena perkembangan ini maka PBB tidak mengadakan perdebatan pada Sidang Umum ke-X dan hanya mengambil resolusi yang mengharapkan agar perundingan Indonesia-Belanda tersebut dapat berhasil [3]
Sedemikian jauh usaha-usaha yang telah dilakukan oleh Indonesia selama 7 tahun untuk menyatukan wilayah kekuasaannya dengan jalan perundingan, tidak mendapat sambutan baik dari pihak Belanda. Maka timbullah suatu pemikiran baru untuk mencari cara lain dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, agar secepatnya wilayah tersebut dapat tergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka sejak Sidang Umum ke-XIII PBB tahun 1958 masalah Irian Barat tidak dicantumkan lagi dalam acara sidang. Pemerintah Indonesia lebih menitik beratkan usahanya mencari penyelesaian masalah ini, menurut cara yang pada dasarnya menggantungkan diri pada kekuatan Nasionalnya.
Dibidang kegiatan politik International yang lain, perjuangan pembebasan Irian Barat masih terus diusahakan. Hal itu merupakan kesamaan yang dilakukan oleh perkembangan negara-negara Asia-Afrika, adapun bentuk dari usaha yang dilakukan berupa menggalang kekuatan di antara negara-negara yang sedang berkembang untuk mengimbangi yang dapat mengecilkan ketegangan dunia yang terjadi. Aspirasi Nasional seperti halnya masalah Irian Barat lebih mendapatkan perhatian dalam forum Asia-Afrika ini. Pertemuan Menteri Panca Negara: India, Pakistan, Sri Langka, Birma dan Indonesia di Bogor pada tanggal 29 Desember 1954 telah mengeluarkan pernyataan bersama, yang berupa memberikan sokongan dan dukungan terhadap tuntutan Indonesia atas Irian Barat. Mereka menyatakan harapannya kepada pemerintah Kolonial Belanda, agar pemerintah Belanda mau membuka kembali perundingan guna melaksanakan kewajibannya yang berdasarkan persetujuan yang telah diadakan oleh mereka (Belanda) dengan Indonesia.
Penggalangan kekuatan nasional inilah yang kemudian menjelma menjadi politik konfrontasi Pembebasan Irian Barat, yang setiap tahun dilakukan makin intensif dibidang politik, ekonomi dan militer. Akibat tekanan-tekanan ini kemudian Belanda mengadakan perubahan sikap, tetapi masih tetap bertentangan dengan gagasan penyatuan wilayah tersebut kepada Indonesia, adapun perubahan sikap yang diambil oleh Belanda dengan cara menginternasionalisasi dan dekolonisasi Irian Barat yang diajukannya dalam Sidang Umum ke XVI PBB tahun 1961
A. TRI KORA (Tri Komando Rakyat)
Semenjak diajukannya gagasan Belanda pada tahun 1961 untuk melakukan dekolonisasi dan internasionalisasi Irian Barat dalam forum PBB tanpa mengajak serta Indonesia untuk merundingkannya lebih dahulu, menyebabkan ketegangan semakin meningkat. Padahal Indonesialah yang pertama-tama mempunyai kepentingan Nasional atas wilayah itu.
Dengan demikian terlihatlah, bahwa perubahan pandangan pihak Belanda secara prinsipil tetap tidak ada. Hal ini semakin menjadi jelas dengan usahanya lebih lanjut untuk melegalisasi Rencana Undang-Undang Dewan Papua sebagai suatu lembaga Pemerintahan dengan dalih penentuan nasib sendiri. Adapun tujuan dari pembentukan Dewan Papua ini bertujuan untuk menjauhkan perhatian orang-orang Irian Barat kepada Indonesia agar bisa mendekat dan bergabung dengan Papua dan New Gunea yang pada saat itu, daerah tersebut masih dikuasai oleh Australia, sehingga dari itu dengan rencana yang sedemikian rupa, pihak Belanda bisa menciptakan situasi yang sangat sulit bagi Indonesia, hal ini dikarenakan tujuan spesifik pembentukan Dewan Papua ini adalah memunculkan rasa anti Indonesia kepada orang-orang Irian Barat. Pada tanggal 5 April 1961 Belanda melantik Dewan Papua dengan perlengkapan bendera dan lagu Kebangsaan Papua. Hal ini nantinya akan menjurus kepada pembentukan suatu "Negara Papua" [4]
B. PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat)
Irian Barat merupakan bagian dari NKRI yang sah. Masuknya Irian Barat menjadi bagian dari Indonesia merupakan hasil kesepakatan perjanjian yang di mediasi oleh PBB, adapun perjanjian itu dikenal dengan perjanjian New York (New York agreement) pada tanggal 15 agustus 1962 yang diakhiri dengan penentuan pendapat rakyat (PEPERA).
Persetujuan New York merupakan proses yang begitu amat penting bagi perjuangan Indonesia untuk mendapatkan kembali Irian Barat, dan adanya Perjanjian New york merupakan jaminan tranparansi pelaksanaan penentuan nasib sendiri, dengan memasukan unsur nasehat, bantuan, dan partisipasi PBB serta pelaporan PBB kepada masyarakat Internasional melalui majelis umum PBB. Berdasarkan hasil perjanjian New York (Indonesia-Belanda) tahun 1962, ketentuan rinci mengenai pelaksanaan hal penentuan nasib sendiri (act of free choice) atau PEPERA terdapat dalam pasal XVIII, yang meliputi 4 butir.
Dalam jangka waktu yang telah ditetapkan oleh perjanjian tersebut, maka dari itu di tentukanlah tanggal yang pasti untuk pelaksanaan act of free choice atau PEPERA. Suatu formulasi ataupun keputusan yang amat jelas sehinga penduduk Irian Barat bisa menentukan apakah mereka ingin tetap bergabung dengan Indonesia atau memutuskan hubungan mereka dengan Indonesia. Suatu jaminan bagi semua penduduk pribumi untuk ikut memilih dalam rangka penentuan nasib sendiri yang akan dilaksanakan sesuai dengan praktek Internasional.
Dalam perwakilan setiap kepala suku merupakan pilihan yang disesuaikan dengan isi perjanjian New York sebagai dasar Hukum Internasional dan acuan dalam pelaksanaan PEPERA, yang mana isi dalam perjanjian New York itu tidak ada menyebutkan akan diberlakukannya prinsip satu orang satu suara "One Man One Vote". Beberapa Kepala Suku yang mewakili rakyat Irian Jaya Barat diberikan hak untuk memilih antara dua alternatif yaitu tetap menjadi bagian dari Kesatuan Republik Indonesia atau memutuskan hubungan dengan Indonesia.
Dalam jajak pendapat tersebut diperolehlah hasil bahwa rakyat Irian Barat Barat memilih untuk tetap bersatu dengan pemerintah Indonesia. Hasil itu lalu diserahkan kepada Dr. Fernando Ortiz Sanz (wakil PBB untuk mengawasi Pepera) untuk kemudian dilaporkan pada saat sidang PBB ke-24 tanggal 19 November 1969. Dalam sidang tersebut sebanyak 84 negara anggota PBB menyetujui penggabungan Irian Jaya Barat ke wilayah Indonesia.
Keberhasilan Indonesia dalam memenangkan PEPERA untuk memperjuangkan Irian Barat tidak terlepas dari Strategi yang dimainkan oleh pemerintah pusat, yang saat itu Indonesia berada dalam kekuasaan pemerintahan Soeharto yang kita kenal dengan zaman Orde Baru. Pemerintah saat itu mengirim Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ke Irian Barat dengan membawa misi untuk memenangkan pelaksanaan PEPERA, agar Irian Barat bisa menggabungkan diri ke NKRI.
Strategi yang dijalani oleh ABRI berjalanan dengan sukses, sehingga Irian Barat bersedia masuk ke bagian NKRI. Adapun strategi yang ditempuh oleh ABRI dengan cara memberikan tekanan yang bersifat memaksa kepada masyarakat yang mempunyai hak suara dalam mengikuti PEPERA. Tujuan ini dilakukan oleh pemerintah mengingat adanya pengaruh yang kuat dari pihak Belanda untuk menggagalkan ketetapan dari perjanjian New York. Bahwa Belanda harus menyerahkan Irian Barat kepada UNTEA sebagai pihak mediator dari kedua belah pihak, antara Indonesia dengan Belanda paling lambat pada tanggal 1 Oktober 1962 dan akan diserahkan kepada Indonesia pada 1 Mei 1965.
Banyak sumber yang mengatakan bahwa tekanan diberikan kepada masyarakat yang mempunyai hak suara dalam PEPERA berupa penodongan. Staregi yang tergolong pemaksaan itu tertuang berdasarkan MEN/PANGAD No. TR-228/1967 TBT tertanggal 7 Febuari 1967, memerintahkan kepada seluruh Angkatan Bersenjata Indonesia (ABRI) agar dalam menghadapi referendum Irian Barat (PEPERA) tahun 1969, agar meningkatkan segala aktivitas dimasing-masing bidang baik itu dari laut, udara, dan didarat dalam rangka untuk memenangkan referendum Irian Barat.
Dalam permasalahan ini, pihak PBB selaku organisasi perdamaian dunia saat itu tidak hadir mengikuti dalam mengawasi jalannya pelaksanaan PEPERA. Hal demikian dikarenakan ada unsur kepentingan dalam masuknya Irian Barat ke Indonesia saat itu. Amerika Serikat selaku yang mempunyai pengaruh yang begitu besar dalam PBB telah mengadakan kesepakatan dengan pihak Indonesia tentang status Irian Barat. Hal ini terbukti pada saat sebelum pelaksanaan PEPERA, bahwa Indonesia memanfaatkan momentum perang dingin sebagai senjata ampuh untuk meluluhkan Amerika Serikat agar mau membantu Indonesia untuk mendapatkan Irian Barat.
Untuk menjaga Eksistensi Amerika selaku pemimpin blok barat yang anti komunisme di Indonesia pada saat pemerintahan orde baru, maka dibuatlah kesepakatan di antara kedua belah pihak mengenai jaminan atas masuknya Irian Barat ke Indonesia saat itu. Amerika secara tidak langsung sangat tergebu-gebu untuk mendapatkan Irian Barat, hal ini dikarenakan Irian Barat memiliki SDA yang begitu luar biasa banyaknya dan membuat Amerika Serikat terkesima dan menginginkan SDA yang ada di Irian Barat. Maka dari itu, pihak Amerika memanfaatkan Irian Barat sebagai jaminan agar Indonesia tidak lagi berpihak dengan Uni Soviet, maka dibuatlah kesepakatan bahwa setelah Irian Barat menjadi bagian dari Indonesia maka pihak Amerika Serikat boleh menginvestasikan sahamnya di Irian Barat yang dikenal dengan perusahaan tambang emas PT. Freeport, sehingga dari itu pihak Amerika Serikat mendesak pihak Belanda agar meninggalkan Irian Barat dan menggantikannya dengan Indonesia [5]
DAFTAR PUSTAKA
1. Bone Jr, Robert C, 1952, The Dynamics of the Western New Guinea (IrianBaratt)Problem, Ithaca, New York.
2. JRG.Djopari. 1993.PemberontakanOrganisasi Papua Merdeka. Jakarta: PT GramediaWidiasarana Indonesia
3. Adi Sudirman. 2014. Sejarah Indonesia Lengkap.Diva Press.Jakarta.
0 Comment: