Riyan Hidayat : Ilmu Tanpa Filsafat Adalah Buta
Ketika mendengar kata “Filsafat”, apa yang ada dibenak kebanyakan orang adalah terlihat sosok tua bangka yang hidupnya berantakan lantaran si tua bangka itu terlalu banyak merenungkan hal-hal yang tidak perlu direnungkan. Kita akan dihantui oleh rasa mengerikan dan wasting time ketika “mempelajari” filsafat. Bahkan ada pelarangan untuk mempelajari filsafat karena bisa menjadi gila jika otak tidak kuat.
Dan untuk apa kita mengambil resiko yang menakutkan ini kalau sekedar mempelajari sesuatu yang abstrak, yang jauh pada kehidupan sehari-hari. Untuk para robot-robot organik, filsafat tidaklah penting.. mending kerja, cari uang, biar kaya, hidup enak. Ya, itu prinsip robot organik. Padahal sebenarnya, setiap filsafat justru membawa kita kedalam kehidupan penuh makna dan setiap waktu perenungan adalah waktu yang penuh manfaat. Karena hal-hal yang dipertanyakan dalam filsafat adalah hal yang radix dan comprehensive yaitu mendasar dan menyeluruh mengenai hal ihwal permasalahan manusia baik semasa hidup maupun life after life.
Ketika beberapa pertanyaan diajukan, seperti “Bagaimana dunia tercipta?”, “Apakah makna dari terciptanya dunia?”, “Adakah kehidupan setelah kematian?”, “Siapakah aku?”, kita sudah mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis dan inilah langkah pertama sekaligus merupakan
cara yang terbaik dalam mendekati filsafat.
Filsafat lahir dari rasa keingintahuan manusia. Dan apakah bisa rasa ini dihilangkan atau dieliminate begitu saja? Jika kita membunuh rasa keingintahuan, maka kita akan merasa puas dan keenakan dengan hidup yang penuh misteri, terjebak dalam zona nyaman. Kita akan menganggap biasa saja ketika dunia yang indah ini beraksi, kita akan menganggap hidup ini sebagai hal yang biasa saja dan tidak lagi merasa heran jika muncul hal-hal baru di jagad raya ini. Karena kita sudah punya jawaban yang menurut kita sudah menjawab, ya, biasanya kita akan menjawab "Tuhan". Pada kenyataannya, "Tuhan" hanyalah kata lain atau kalimat metaforis dari "tidak tau", atau ketidaktauan.
Tidak hanya itu saja. Ketika rasa keingintahuan seseorang dibunuh, itu sama halnya juga membunuh kekreatifitasan diri. Matinya kreatifitas diri akan membat seseorang nampak monoton seperti robot yang diprogram untuk hanya hidup menjalankan rutinitas harian. Seperti kutipan milik Mas Jerinx (personil band SID) ini, "Lahir, sekolah, bekerja, berkeluarga lalu mati" - pilihlah ritme hidup yang aman, maka niscaya dunia tak akan pernah membaik."
Mengapa filsafat sedemikian rupa masih dijunjung meski faedahnya tidak seberapa nampak? Karena sesungguhnya itulah Filsafat sebenarnya, “Keheranan, ketakjuban, keingintahuan”.
Berfilosofis adalah ingin tahu tentang kehidupan, tentang yang benar dan yang salah, tentang kebebasan, kebenaran, keindahan, ruang dan waktu, dan ribuan hal yang lainnya. Berfilosofis adalah mengeksplorasi kehidupan, yang maksudnya adalah memecah ketidakbebasan dengan mempertanyakan banyak hal. Mempertanyakan pertanyaan yang membingungkan atau bahkan menyakitkan sekalipun.
Filsafat laksana mitos. Seperti, once upon a time lives a tree, named Philosophy. Maksudnya adalah filsafat berasal dari pola
pikir mitologis. Mitos adalah sebuah cerita mengenai dewa-dewa untuk menjelaskan mengapa kehidupan berjalan seperti adanya, dewa-dewa tempat mengadukan segala macam pertanyaan-pertanyaan manusia yang dijawab oleh berbagai agama dan secara turun temurun jawaban ini diterapkan. Inilah mitos. Dan filsafat terlibat didalamnya.
Simply, tujuan filsuf dengan filsafatnya adalah untuk menemukan bukti-bukti alamiah dan bukannya berbau supernatural dalam berbagai macam proses alam. Kerja para filsuf ini tidaklah sendirian, karena mitos kemudian dipertanyakan bahkan cenderung diabaikan oleh para peminat sains. Karena akhirnya dijawab kalau awan-awan yang bermuatan positif dan negatif itulah yang menghasilkan gemuruh gelegar dan kilatan cahaya atau yang biasa disebut dengan petir, bukannya Tuhan yang sedang berburu setan.
Karena ulah mitos inilah maka para filsuf mulai giat untuk lebih memahami apa yang terjadi di sekitar mereka tanpa harus kembali pada mitos-mitos kuno itu. Mereka ingin memahami proses sesungguhnya dengan menelaah alam itu sendiri. Keinginan ini membuat filsuf mengambil langkah menuju penalaran ilmiah, yang dinamakan sains.
Sains inilah pedang yang menebas segala mitos yang beredar di masyarakat. Termasuk menebas kisah Tuhan berburu setan. Akan tetapi beda sekali antara filsuf dengan ilmuwan. Meski keduanya berada pada lingkup sains, akan tetapi filsuf bersikap lebih lunak terhadap mitos. Filsuf mempertanyakan kebenaran mitos (dalam arti masih membuka kemungkinan untuk mencari kebenaran didalamnya), sedangkan ilmuwan benar-benar menolak mitos dan mengatai mitos sebagai cerita bohong.
Dilihat dari kisah “munculnya” filsafat saja sudah sebegitu menarik. Jadi tidaklah mungkin kalau penerapan filsafat dalam kehidupan sehari-hari akan membuat kehidupan menjadi susah dan menakutkan. Bahkan, dipercaya bahwa erat kaitannya antara filsafat dengan kebermaknaan hidup.
Tentu sebuah kebijaksanaan tersendiri untuk memahami apa arti kehidupan. Apakah arti kematian?, mengapa kita hidup disaat kita tidak meminta untuk hidup dan mengapa kita mati disaat kita tidak menginginkan mati?
Fokus boleh hadir dan dirajut, tapi biarkan dulu semuanya keluar dengan jujur. Dan membiarkan diri kita menari-nari diatas pertanyaan-pertanyaan seputar Manusia, Tuhan dan Alam Semesta. Kita akan bertanya banyak hal, menjawab sedikit hal dan kemudian memunculkan banyak pertanyaan. Semuanya takkan pernah berhenti dan terus berputar, berotasi-evolusi. Percayalah! Misalkan menulis, menulis itu selalu to be continued. Meski diakhir tulisan tertera kata THE END / TAMAT atau berbagai macam simbol seperti *** atau ### atau * === *, dsb. tetap saja apa yang kita tulis itu to be continued.
Komentar
Posting Komentar
-Berkomentarlah yang baik dan rapi.
-Menggunakan link aktif akan dihapus.